Kamis, 11 Oktober 2018

Perusahaan dan Landasan Akad Syariah


Di dalam perekonomian Islam bentuk atau jenis dari organisasi- organisasi bisnis (usaha) yang ada secara umum antara lain dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk atau jenis utama, antara lain yaitu jenis organisasi bisnis perusahaan perorangan (sole proprietorship), bentuk persekutuan (partnership),dan mudharabah.
1.        Perusahaan perorangan (sole proprietorship)
Perusahaan perorangan (sole proprietorship) merupakan format organisasi bisnis yang paling sederhana yang hampir ada dalam setiap sistem ekonomi non-sosialis, dan merupakan bentuk usaha pelaksanaan bisnis yang tertua, dimana bentuk-bentuk organisasi bisnis lain yang berkembang kemudian adalah berangkat dari bentuk awal ini sesuai dengan kompleksitas dan kebutuhan hidup sosial dan ekonomi manusia.
Sebagaimana dalam sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam mengizinkan perusahaan swasta (private enterprise) yang dikelola oleh setiap individu dan tidak mengikat mereka secara khusus, selama usaha atau bisnis yang dijalankannya terikat dengan ketentuan syari’ah. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa sifat alami bisnis haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan mendasar yang ditentukan oleh hukum yang ada. Akan tetapi, bagaimana menjalankannya dan mengelolanya, sejauh ini dapat diarahkan kepada setiap individu untuk memilih dan menentukan jalan yang dikehendakinya. Baik yang terkait dengan kepemilikan modal usaha, tenaga kerja sewa dan faktor-faktor produksi lainnya, termasuk konsekuensi untuk menghadapi segala resiko kerugian.
2.        Persekutuan/Kemitraan/Syirkah (Partnership)
Merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih untuk mendistribusikan laba (profit) atau kerugian (losses) dari suatu bisnis atau usaha yang dijalankan oleh seluruhnya atau salah satu dari mereka sebagai pengelola atas yang lain. Secara implisit dapat disimpulkan bahwa dua orang atau lebih dapat menyatukan sumber daya yang mereka miliki untuk menjalankan suatu bisnis secara bersamaan, sebab mereka tidak dapat mengelolanya dengan sendiri-sendiri. Yang terpenting dalam bentuk kerjasama ini adalah masing-masing pihak harus memiliki andil modal dalam usaha tersebut. Bentuk usaha perserikatan ini dikenal dengan istilah syirkatul ‘Inan atau Syirkatul mufawwadah. Sedangkan bentuk persekutuan usaha, di mana seseorang memiliki nama baik menjalankan usaha dengan menggunakan modal orang lain dikenal dengan istilah persekutuan syirkatul wujuh. Dalam definisi tersebut juga terkandung harus adanya persetujuan hubungan terhadap bentuk bisnis yang akan dijalankan sesuai dengan undang-undang, dengan tujuan mendistribusikan laba atau kerugian yang mungkin timbul dari bisnis yang dijalankan tersebut, dan bukan merupakan persetujuan untuk beramal. Dalam hal ini semua mitra berkedudukan sebagai agen dan memiliki wewenang yang sama antara satu dengan yang lainnya, kecuali jika salah satu dari mereka tidak aktif berpartisipasi dalam menjalankan usaha.
Di dalam kemitraan pendistribusian laba yang akan diberikan diantara para pihak (mitra) diatur sesuai perbandingan (ratio) yang telah disepakati. Sementara pendistribusian kerugian akan dibagi berdasarkan perbandingan jumlah modal yang diikutsertakan (investasi), sesuai dengan konsep laba dan rugi dalam definisi di atas. Dan menurut aturan hukum Islam bahwa semua kerugian yang terjadi dalam usaha yang dijalankan secara bersama itu harus dipikul oleh pemilik modal, kecuali kerugian yang terjadi dapat ditunjukkan dengan jelas (dapat dibuktikan), sebagai akibat dari resiko yang di luar kemampuan manusia. Terkait dengan hal ini bahwa laba yang akan dibagikan kepada para pihak dapat diberikan setelah kerugian yang telah terjadi telah dihapuskan (ditutupi), dan modal awal yang ada kembali utuh.
Semua mitra usaha (Partner) yang ikut ambil bagian dalam kontrak organisasi bisnis ini, pada dasarnya memiliki hak-hak dan kewajiban yang jelas dan mengikat mereka. Secara implisit dapat digambarkan sebagai berikut :
a)  Setiap mitra memiliki hak untuk menjual barang-barang secara kredit tanpa terlebih dahulu meminta izin secara tegas kepada mitra lain, dengan demikian semua mitra menjadi terikat dengan penjualan barang-barang dengan kredit tersebut.
b)  Setiap mitra berhak untuk menerapkan semua hak yang dimiliki dan melaksanakan semua aktivitas bisnisnya sebagai bagian dari usaha tersebut.
c)  Masing-masing mitra memiliki hak untuk mendapatkan uang atau keuntungan yang kemudian dapat dipakai untuk mengelola bisnis pribadinya, tanpa persetujuan pihak lain.
Secara eksplisit, hak-hak yang dimiliki para mitra adalah setiap mitra harus mendapatkan izin dari semua mitra lain di dalam berbagai hal berikut :
a)  Meminjamkan uang perusahaan kepada pihak ketiga, ataupun melakukan peminjaman modal untuk perusahaan dari pihak ketiga atau dari seorang mitra.
b)  Membeli bahan-bahan yang akan dijual secara kredit melebihi dari total likuiditas bisnis setiap waktu.
c)  Mengajak pihak ketiga untuk menjadi mitra.
d)  Memebrikan sebagian modal perusahaan untuk membiayai bisnis lain.
e)  Menjalankan bisnis sendiri dengan mitra lain yang dapat mempengaruhi hubungan bisnis pada setiap kapasitas.
f)   Kegiatan lain yang dapat merugikan kepentingan-kepentingan partner yang lain dalam bisnis.
 Kewajiban-kewajiban mitra :
a)  Para mitra bertanggung jawab secara luas kepada modal yang dimiliki, termasuk dengan melakukan pinjaman dari luar. Artinya, jika suatu persekutuan perusahaan tidak melakukan pinjaman dari sumber manapun, maka dengan sendirinya hal itu hanya mengikat saham yang dimiliki saja. Akan tetapi jika para mitra yang satu dengan yang lain menyetujui meminjam uang dari luar, maka para pihak akan terikat kewajiban untuk melakukan pembayaran kepada kreditur dan akan dapat dikenakan kewajiban sesuai dengan komitmen yang disepakati.
b)  Tidak seorang pun (sesuai dengan ketentuan syari’ah) bertanggung jawab atas kewajiban orang lain.
c)  Jika kredit diperoleh lebih dari total likuiditas yang ada dan sesudah itu bisnis mengalami kerugian dan tidakbisa mengatasinya,maka kerugian atas sejumlah pinjaman tersebut akan menjadi tanggungan semua mitra dalam porsi yang sama dan bukan dibebankan berdasarkan rasio atau perbandingan modal yang diikutsertakan.
Di dalam kontrak kerjasama ini, pemutusan hubungan kerjasama dapat terjadi jika adanya kesepakatan apabila salah satu dari mitra melakukan tindakan yang dapat menyebabkan kerugian atas kepentingan pihak lain; salah satu dari mitra meninggal dunia, menjadi gila atau tertimpa sakit sehingga tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya; periode masa kontrak telah berakhir; dan tujuan dari kerjasama ini telah terealisasi.
Dalam pelaksanaannya, perkongsian atau kemitraan secara bersama-sama meraih kemajuan bersama. Kemitraan ayausyirkah ini mungkin akan lebih efektif dan lebih membangkitkan etos kerja jika dibandingkan dengan melakukan peminjaman, baik ke perorangan ataupun ke bank. Dilihat dari proses kemitraan, semua orang yang bergabung sama-sama mempunyai hak dan tanggung jawab yang seimbang dengan besarnya sahamyang dimiliki. Semua mempunyai kedudukan yang sejajar dan sama-sama punya tanggung jawab untuk memajukan usaha yang dikelola.


3.            Mudharabah
Mudharabah adalah penanaman modal dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Implikasi dari pengertian mudharabah sebagai berikut :
a.   Persetujuan tidak terbatas hanya antara dua orang saja, akan tetapi dapat lebih dari jumlah tersebut.
b.  Dalam setiap persetujuan terdapat dua pihak yang terlibat. Pertama, pihak penyedia modal usaha sebagai pihak utama (principal), dan Kedua, pihak pengelola (yang menjalankan bisnis atau usaha) yang disebut entrepeneur atau sebagai seorang agent.
c.   Dalam hal ini pihak pengelola dapat membawa modalnya sendiri untuk kepentingan usaha yang dijalankannya, tetapi perlu mendapat persetujuan dari pihak pemilik modal. Dalam hal ini, modal yang berada pada pihak pengelola bukan merupakan suatu bentuk pinjaman, melainkan berfungsi untuk menjalankan bisnis yang telah disepakati oleh pemilik modal dengan kesepakatan mendapatkan porsi keuntungan dari bisnis tersebut.
            Pengalokasian keuntungan antara pemilik dana dan pengelola dibuat berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak. Tidak boleh dibuat berdasarkan jumlah atau nominal pasti sebelum berjalannya bisnis tersebut, hanya dalam bentuk persentase atas keuntungan yang akan diperoleh.
Sedangkan menurut aturan umum syari’ah, pengalokasian kerugian yang terjadi di tanggung seluruhnya oleh pemilik dana dan tidak dapat ditangguhkan kepada pihak pengelola. Karena pihak pengelola hanya berkedudukan sebagai agen dari pemilik modal, selama kerugian yang terjadi bukan kerena keteledorannya. Oleh karenanya pihak pengelola dalam hal ini tidak akan mendapatkan bagian apa-apa jika terjadi kerugian dalam bisnis yang dijalankannya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bisnis syari’ah terkandung prinsip keadilan. Siapapun berhak untuk mendapatkan keuntungan, sekaligus juga dapat mengalami kerugian.
 Dalam mudharabah, pemilik dana tidak boleh mensyaratkan sejumlah tertentu untuk bagiannya karena dapat dipersamakan dengan riba yaitu meminta kelebihan atau imbalan tanpa ada faktor penyeimbang (iwad) yang diperbolehkan syariah. Keuntungan yang dibagikan pun tidak boleh menggunakan nilai proyeksi akan tetapi harus menggunakan nilai realisasi keuntungan, yang mengacu pada laporan hasil usaha yang secara periodik disusun oleh pengelola dana dan diserahkan pada pemilik dana.
Pada prinsipnya dalam mudharabah tidak boleh ada jaminan atas modal, namun demikian agar pengelola dana tidak melakukan penyimpangan, pemilik dana dapat meminta jaminan dari pengelola dana. Tetapi jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
  Akad mudharabah dibedakan menjadi dua macam yang didasarkan pada jenis dan lingkup kegiatan usaha mudharib, yaitu :
1)    Mudharabah Mutlaqah
Adalah perjanjian mudharabah antara shahibul maal dan mudharib, dimana pihak mudharib diberikan kebebasan untuk mengelola dana yang diberikan. Mudharabah Mutlaqah ini diaplikasikan oleh bank syariah dalam kegiatan menghimpun dana (funding) dari masyarakat.
2)    Mudharabah Muqayadah
Adalah perjanjian mudharabah yang mana dana yang diberikan kepada mudharib hanya dapat dikelola untuk kegiatan usaha tertentu yang telah ditentukan baik jenis maupun ruang lingkupnya. Mudharabah Muqayadah ini diaplikasikan oleh bank syariah dalam kegiatan penyaluran dana (lending) kepada masyarakat sehingga dapat mempermudah bank dalam melakukan kegiatan monitoring terhadap usaha yang dilakukan oleh nasabah.
Seperti halnya dalam bentuk persekutuan (partnership), kontrak mudharabah dapat dicabut kembali setiap saat, jika dalam kontrak tersebut dapat menyebabkan kerugian bagi pihak yang terkait, karena adanya kematian atau terganggunya akal salah satu pihak yang terlibat.
Kontrak mudharabah juga dapat dijalankan terus oleh pihak lain yang terlibat mengelolanya. Dengan demikian hal ini akan memberikan kesempatan bagi pihak yang tidak bubar untuk tetap terus menjalankannya, dan tidak perlu untuk membubarkannya.
Struktur penyertaan saham perusahaan modern sekarang ini, dapat ditemukan beberapa variasi konsep yang serupa dengan konsep mudharabah, diantaranya :
a)    Seperti halnya mudharabah, dimana penyertaan saham perusahaan juga memiliki pembagian antara kepemilikan dan pengawasan.
b)    Tidak adanya batasan jumlah pemegang saham yang terdapat di dalam suatu bentuk penyertaan saham perusahaan. 
c)    Pemindahan saham atau bagian dari seorang pemilik modal kepada yang lainnya tidak akan menyebabkan perusahaan tersebut bubar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang membedakan antara bentuk penyertaan saham perusahaan modern sekarang ini adalah hanya garis-garis syari’ah yang diterapkan di dalam bisnis mudharabah.

IMPLEMENTASI SYIRKAH DALAM PERUSAHAAN BISNIS
Perusahaan adalah suatu unit kegiatan tertentu yang mengubah sumber-sumber ekonomi menjadi bernilai guna berupa barang dan jasa dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan tujuan lainnya. Dalam syar’ah tujuan tersebut adalah falah,yaitu kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat yang dirahmati Allah SWT.
Menurut Ghazali, Omar, dan Aidit (2005:456), konsep perusahaan yang dikenal sebagai syahsiyah i’tibariyah berdasarkan prinsi-prinsip qiyas (analogi)dan istishna atau mashalih mursalah (kepentingan umum). Misalnya, keberadaan bayt al-mal, dan lembaga waqaf yang menunjukkan pengakuan konsep perusahaan dengan badan hukum yang terpisah.
            Pada prinsipnya, kegiatan perusahaan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis usaha :
a)    Jenis usaha perdagangan atau distribusi,yaitu usaha yang bergerak dalam kegiatan memindahkan barang dari produsen ke konsumen.
b)    Jenis usaha produksi/industri, yaitu usaha yang bergerak dalam kegiatan proses pengubahan barang menjadi barang lain yang mempunyai nilai tambah.
c)    Jenis usaha komersial, yaitu usaha yang bergerak dalam kegiatan pelayanan atau menjual jasa.
Ditinjau dari aspek kepemilikan, secara umum bentuk organisasi bisnis terbagi menjadi tiga, yaitu perusahaan perseorangan, perusahaan persekutuan (kemitraan), dan perusahaan perseroan. Berikut adalah definisi dan karakteristik bentuk-bentuk organisasi bisnis tersebut dan disertai dengan tinjauan kontrak syari’ah yang mendasarinya.
1)        Usaha Perorangan
Menurut Sumarni dan Soeprihanto (2010:44), usaha dimiliki, dikelola, dan dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab penuh terhadap semua resiko dan aktivitas perusahaan.
Dalam hal izin usaha relatif mudah didirikan dan paling murah untuk merintisnya. Kelangsungan hidup bisnis relatif mudah terhenti. Pendapatan bisnis dan penghasilan pribadi dilihat sebagai satu kesatuan dalam hal perpajakan, dan mengandung resiko relatif sulit memperoleh sumber dana dari pasar keuangan.
2)        Usaha Pola Kemitraan
Bentuk perusahaan ini dapat berupa firma (Fa) dan persekutuan komanditer (CV). Seperti halnya usaha perorangan, usaha kemitraan mengandung kewajiban yang tidak terbatas bagi para mitranya. Kelangsungan bisnis ini relatif terbatas karena bergantung pada kondisi masing-masing mitra. Pendapatan bisnis yang dihasilkan digabung dengan penghasilan pribadi untuk tujuan pajak. Berbeda dengan usaha perorangan, dalam kemitraan lebih dari satu orang yang terlibat sehingga diperkirakan mempunyai kesempatan untuk memperoleh lebih banyak sumber modal dari pasar keuangan.
Kemitraan modern memiliki kemiripan dengan usaha-usaha yang dijalankan pada masa klasik yaitu usaha dengan pola mudharabah dan musyarakah. Berikut ini penjelasan tentang mudharabah, musyarakah, kombinasi keduanya danmusyarakah yang menurun, serta dibandingkan dengan kemitraan modern seperti firma dan CV.
a)  Mudharabah
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) mendasarkan pada salah satu sumber hukum ijma’ berikut. Diriwayatkan sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka.
Dalam praktik mudharabah, pembagian keuntungan yang dihasilkan sesuai dengan rasio yang disepakati sebelumnya, sedangkan jika terjadi kerugian, maka ditanggung sepenuhnya oleh penyedia dana.
Hikmah dari sistem mudharabah adalah dapat memberi keringanan kepada manusia. Terkadang ada sebagian orang yang memiliki harta, tetapi tidak mampu membuatnya menjadi produktif. Begitu sebaliknya, sehingga dengan akad mudharabah kedua belah pihak dapat mengambil manfaat dari kerja sama yang terbentuk. Pemilik dana mendapat manfaat dengan pengalaman pengelola dana, dan sedangkan pengelola dana dapat memperoleh manfaat dengan harta sebagai modal. Dengan demikian dapat tercipta kerjasama antara modal dan kerja, sehingga dapat tercipta kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
b)    Musyarakah
Bentuk kedua dalam kontrak atau akad syirkah adalah musyarakah. Berdasarkan Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah menimbang bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihaklain, antara lain melalui pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu. Masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan dan pembiayaan musyaraka hmemiliki keunggulan dalam kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian.
Menurut fikih terdapat dua bentuk musyarakah,yaitu :
a.  Musyarakah Amlak (secara otomatis)
Adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad. Musyarakah ini terbagi menjadi dua jenis :
·     Syirkah ijbary (paksaan) ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya, seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka yang diberi waris menjadi sekutu mereka.
·     Syirkah ikhtiary (sukarela) karena adanya kontrak dari dua orang yang bersekutu.
b.  Musyarakah ‘Uqud (atas dasar kontrak)
Merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu dalam harta dan keuntungannya.
ma hanabilah musyarakah ini dibagi dalamlima jenis akad, yaitu: ‘inan, mudharabah, wujuh,’abdan, danmufawadhah.
c.   Kombinasi Mudharabah dan Musyarakah atau Mudharabah Musytarakah
Berdasarkan Fatwa DSN No.50/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah, mendefinisikan Mudharabah Musytarakah adalah salah satu bentuk akad Mudharabah yang mensyaratkan pengelola turut menyertakan modalnya dalam kerjasama investasi. Hal ini diperlukan karena mengandung unsur kemudahan dalam pengelolaannya dan dapat memberikan manfaat yang lebih besar.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa definisi dan karakteristik organisasi bisnis CV sebagai tahap awal memperoleh titik temu dengan landasan akad Mudharabah Musytarakah. Persekutuan komanditer (CV) adalah yang dibentuk oleh duaorang atau lebih yang terdiri atas pihak yang aktif dan pihak yang pasif. Hal ini berbeda dengan firma yang dimungkinkan semua pemiliknya aktif mengelola perusahaan. Pembagian laba dari para sekutu disesuaikan dengan ketetapan dalam akte pendirian. Pada umumnya ketentuan yang terdapat dalam akad mudharabah musytarakah relatif dapat melandasi bentuk CV.
Dengan prinsip mudharabah musytarakah pembagian hasil investasi antara pengelola dan pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati, kemudian bagian hasil setelah dikurangi  untuk pengelola dana (sebagai mudharib) tersebut dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dengan pemodal sesuai porsi modal masing-masing.
3)    Perseroan
Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum (perusahaan) yang terpisah dari pemiliknya yang disebut pemegang saham. Adanya konsep badan hukum pada perseroan terbatas atau disebut Naamloze Vennotschap (NV) menyebabkan bentuk perusahaan ini berbeda jauh dibandingkan bentuk usaha perorangan dan kemitraan.
Menurut Nafik, perusahaan perseroan merupakan wujud dari bentuk kombinasi antara musyarakah dan mudharabahyang tertutup (terbatas) dan terbuka.
Berdasarkan tuntunan syari’ah, konsekuensi akad mudharabah atas pembagian pendapatan (revenue sharing) ataupun pembagian laba bersih (profit sharing) adalah melibatkan antara manajemen dewan direksi sebagai mudharib dengan pemegang saham sebagai shahibul mal.
        



Tidak ada komentar:

Posting Komentar